Sabtu, 08 Juni 2013

MAKALAH INFORMED CONSENT

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Dasar Hukum Informed consent
Dalam hukum kedokteran, biasanya untuk menghindari resiko malpraktik, tenaga medis membuat exconeratic clausule yaitu : syarat-syarat pengecualian tanggung jawab berupa pembatasan ataupun pembebasan dari suatu tanggung jawab.  Dalam hal ini, bentuk exconeratic clausule adalah informed consent / persetuan tindakan medis.
Di Indonesia perkembangan informed consent secara yuridis formal, ditandai dengan munculnya pernyataan ikatan dokter indonesia (IDI) tentang informed consent melalui SK PB-IDI No. 319/PB/A.4/88 pada tahun 1988. Kemudian setelah itu dipertegas dengan keluarnya PerMenKes No. 585 tahun 1989 tentang “Persetujuan Tindakan Medik atau informed consent”. Peraturan resebut menjadi aturan dalam setiap pelaksanaan tindakan medis yang berhubungan dengan persetujuan dan pemberiak informasi terhadap setiap tindakan medik. Peraturn tersebut menyebutkan bahwa setiaptindakan medik harus ada persetujuan dari pasien yang diatur dalam pasal 2 ayat (1) PerMenKes No. 585 tahun 1989, yang berbunyi “semua tindakan medik yang akan dilakukan terhadap pasien harus mendapat persetujuan”.
Persetujuan tindakan medik (informed consent) terdiri dari :
1.      Yang dinyatakan (expressed), yakni secara lisan (oral) atau tertulis(written)
a.       Persetuan Lisan, biasanya diperlukan untuk tindakan medis yang bersifat non-invasif dan tidak mengandung resiko tinggi, yang diberikan oleh pihak pasien.
b.      Persetuan tertulis, biasanya diperlukan untuk tindakan medis yang mengandung resiko besar, sebagaimana ditegaskan dalam PerMenKes No. 585/Men. Kes/Per/IX/1989 pasal 3 ayat (1) dan SK PB-IDI No. 319/PB/A.4/88 butir 3, yaitu intinya setiap tindakan medis yang mengandung resiko yang cukup besar, mengharuskan adanya persetujuan tertulis, setelah sebelumnya pihak pasien memperoleh informasi yang adekuat tentang perlunya tindakan medis serta resiko yang berkaitan dengannya.
c.       Persetujuan dengan isyarat, dilakukan pasien melalui isyarat misalnya pasien yang akan disuntik atau diperiksa tekanan darahnya, langsung menyodorkan lengan sebagai tanda menyetujui tindakan yang akan dilakukan terhadap dirinya.
2.      Dianggap diberikan (implied atau tocit consent), yakni dalam keadaan biasa (normal) atau dalam keadaan darurat (emergency)
 Kemuadian diiringi dengan keluarnya PerMenKes No. 589 tahun 1989 yang menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan PTM adalah persetujuan yang diberikan pasien atau keluarga atas dasar penjelasan mengenai tindakan medik yang akan dilakukan terhadap pasien tesebut.
2.2.Hubungan Informed consent dengan Pancasila
2.2.1.      Ketuhanan Yang Maha Esa.
Indonesia adalah Negara yang masyarakatnya mempercayai adanya tuhan atau sang pencipta,dimana di mata tuhan makhul itu sama dan setiap orang berhak memilih agama yang mereka percayai tanpa adanya paksan dari orang lain serta  saling menghormati dan tolong –menolong antar pemeluk agama tanpa membeda-bedakannya. apa hubunganya dengan imfromed consent? , itu terletak pada melakukan suatu pertolongan itu dokter tidak boleh memandang status dari kepercayaanpasiennya, dia harus menolong siapa saja yang membutuhkan pertolongnya dan mengangap kedudukan pasien itu sama dengannya yang harus di perlakukan sebaik-baikanya sebagai mahluk ciptaan tuhan . walaupun sebenarnya secara tidak langsung ke dudukan dokter itu tanpa di sadari lebih tinggi dari pasiennya karena dokter dianggap mampu menolong dan memberikan pertolongan,tapi dalam perinsiketuhananya adalah sama.
2.2.2.      Kemanusiaan Yang Adil dan Beradap
Manusia harus di perlakukan sesuai harkat dan martabatnya sebagai manusia, setiap yang di lakukan oleh dokter harus sesuai dengan harkat dan martabat manusia itu sendiri . dokter harus menolong pasiennya dengan adil dan benar tidak membedakan dari suku,agama dan bangsanya, serta tidak memperlalukan pasiennya itu semena-mena. Fungsi dari inform conset di sini adalah untuk melindungi pasien dari tidakan yang semena-mena dan tidak sesuai dengan harkat dan martabatnya sebagaimanusia serta mendapatkan ke adilan dan kebenaran. Untuk dokter ,ini berfungsi untuk lebih hati-hati dalam memperlaukan seorang pasien secara harkat dan martabatnya dengan adil dan benar serta agar menjdi benteng hokum apabila terjadi tuntutan di kemudian hari.
2.2.3.      Persatuan Indonesia
Di sini seorang dokter harus rela berkorban dan mementingkan kepentingkan orang lain yang membutuhkannya (kalau di sini di tinjau dari pasiennya). Karna seorang dokter harus siap dan siaga jika di butuhkan , dimana sebap dokter akan selalu di butuhkan kapan saja dan dimana saja baik itu siang,malam ketika mood baik ataupun jelek, di sini dokter harus rela berkorban atas pasiennya, karna pasiennya lebih bembutuhkannya, tetapi hendaknya pasien juga menengang waktu- waktu tertentu dari dokternya. Pada intinya itu saling menghormati,menghargai.rela berkorban serta mementingkan kepentingan orang lain agar terciptalah suatu persatuan yang baik. Fungsi dari inform consent di sini adalah untuk menjaga itu semua atau bias di katakana dengan inform consent yang di pandang secara sila pertama,kedua,ke empat dan kelima ini adalah inti dari semuanya yang menyebapkan timbulnya persatuan itu sendiri
2.2.4.      Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan
Seorang dokter dalam mengambil suatu keputusan dia tidak boleh mengambil keputusan sepihak untuk melakukan penanganan terhadap pasiennya, tetapi dia harus bermusyawarah dengan keluarganya ataupun pasienya sendiri, apapun keputusan dari si pasien itu harus di turuti oleh dokternya dan dokter dalam memberikan tindakan-tindakan harus bijaksana dengan memperhatikan akibat yang akan di timbul kan serta menjelaskan semuanya kepada pasien maupun keluarganya, jika pasien tidak dalam kedaan sadar maka ini bias di ambil persetujuan dari keluarganya, di sinilah fungsi dari inform consent  agar hal yang telah di setujui keluarga pasien jika nantinya pasien menuntut itu dapat di pertanggung jawabkan.
2.2.5.      Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia
Antara hubungan dokter dan pasien serta pasien dengan dokter itu harus ada ke seimbangan antara hak dan kewajiban masing-masing pihak serta saling menghargai sesama. Inform consent di sini bertujuan untuk saling menghargai tadi dan seimbangnya hak serta kewajiban, karna di Negara kita setiap orang berhak unutk membela dirinya dan berhak di bela dan imform consent ini adalah sebagai pelindung jika nantinya terjadi hal-hal tertentu, sehingga terlihat jelas keadilan baik bagi pasiennya yang jika di rugikan atapun dokternya yang di tuduh
2.3. Hubungan Informed consent  dengan UUD 1945
            Dalam Undang Undang Dasar 1945 (UUD) informed consent tidalkan tercantum secara konkrit. Tetapi informed consent yang terkandung didalam Undang-Undang Dasar Republik Indonesia yaitu terdapat pada Pasal 28H ayat (1) tahun 1945 berbunyi: “setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan yang sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan”. Pasal 34 ayat (3) berbunyi: “negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak”. `

2.4. Penerapan Informed consent dalam Pelayanan Kesehatan  Serta  Kasus yang Pernah Terjadi Dikarenakan oleh Informed consent.
 Dalam setiap pelayanan kesehatan sangat memerlukan adanya informed consent, sehingga nantinya tidak akan menimbulkan miskomunikasi antara dokter dan pasien  yang dapat merugikan salah satu pihak atau berujung di meja hijau. informed consent ini dibutuhkan dalam setiap tindakan medik, baik itu yang dilakukan oleh dokter, bidan, maupun perawat. Dalam setiap informed consent yang diberikan kepada pasien, seorang dokter harus mengungkapkan dan menjelaskan kepada pasien secara detail dan menggunakan bahasa sesederhana mungkin mengenai sifat penyakitnya, sifat pengobatan yang disarankan, alternatif pengobatan, kemungkinan berhasil dan resiko yang dapat timbul, serta komplikasi-komplikasi yang tidak dapat diduga.
Sudah banyak terjadi kasus pelanggaran yang disebabkan oleh tidak adanya informed consent atau kurangnya penjelas dokter kepada pasien, sehingga pada saat terjadi sesuatu yang tidak diinginkan dan berada diluar perkiraan, pasien akan menggap bahwa itu mutlak adalah kesalahan yang dilakukan oleh dokter. Kasus yang menyangkut tentang informed consent ini tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga terjadi diluar negeri. Berikut beberapa kasus yang pernah terjadi :
Kasus pertama
NOVI, 9 tahun, berangsur-angsur sembuh. Mulutnya yang mencong mulai kembali ke posisi semula. Kelopak matanya yang terbuka sedikit ketika tidur sudah bisa mengatup. Sebelumnya membelalak terus. Tapi Machfud, orangtua Novi, tetap mengajukan tuntutan. Kasus ini pekan lalu dilaporkan ke Polres Cianjur, Jawa Barat. Menurut ayahnya yang pegawai PLN Cianjur itu, Novi mengalami gangguan saraf setelah giginya dicabut. Peristiwanya terjadi November tahun silam. Ketika itu 27 dokter gigi yang baru lulus dari Universitas Trisakti, Jakarta, mengadakan aksi sosial di Cianjur. Seminggu mereka buka praktek memeriksa gigi cuma-cuma di Balai Desa Cibeber. Termasuk anak yang terpikat memeriksakan giginya adalah Novi, pelajar SD Negeri Hanjawar, Cibeber. Atas inisiatifnya sendiri, hari itu Novi datang tidak bersama orangtuanya — dan inilah yang kemudian menimbulkan masalah. Menurut Ida Sofiah, Kepala SD Hanjawar, Novi bukan satu satunya pelajar yang tertarik. “Mereka mau memeriksakan giginya karena dijanjikan ada hadiah, pasta dan sikat gigi. Namanya juga anak-anak, mereka tertarik pada hadiah gratis itu,” kata Ida.
Dalam pemeriksaan, para dokter gigi muda itu menemukan, pada rahang bawah, salah satu gigi susu Novi sudah goyah. Selain membersihkan giginya yang kebanyakan keropos, mereka sekaligus mencabut gigi yang goyang tadi. Sesudah itu, tidak ada peristiwa luar biasa. Dua hari setelah pencabutan giginya, muncullah keluhan Novi. Dan yang mengejutkan orangtuanya, bibirnya kemudian mencong. Bahkan kelopak matanya tak bisa ditutup walaupun ketika tidur. Lalu Novi dibawa berobat pada dr. Arief di poliklinik PLN. Setelah memeriksanya, dokter ini menganjurkan agar Novi dibawa ke RS Hasan Sadikin Bandung untuk menjalani fisioterapi. Anak itu, menurut Arief, mengalami kontraksi otot. Dalam perawatan di RS Hasan Sadikin, tiga kali seminggu Novi mendapat pengurutan dan latihan fisioterapi. Kata dokter yang tak mau disebut namanya yang merawatnya di sana, Novi mengalami trauma. Cuma tak ada keterangan rinci jenis trauma apa, bahkan apakah itu berasal dari gigi yang dicabut. Perawatan sampai dua bulan.
Bulan ketiga ayah Novi menghentikan perawatan anaknya. “Kami kehabisan dana. Perawatan sudah menghabiskan Rp 750 ribu,” kata Machfud. Dan muncul pula penyesalannya: mengapa pihak Fakultas Kedokteran Gigi (FKG) Universitas Trisakti lepas tangan. “Jangankan memberi bantuan, menengok anak saya pun tidak,” katanya. Menurut Machfud, pada 22 Februari ia hanya menerima surat dari drg. Hamilah D. Koesoemahardja, Dekan FKG Trisakti. Dalam surat itu, Hamilah menolak perkiraan bahwa gangguan saraf yang diderita Novi berpangkal dari pencabutan giginya. “Kesimpulan kami ini tidak terdapat kaitan antara pencabutan gigi susu itu dan kelainan pada mulut dan mata Novi,” tulis Hamilah. Juga dijelaskan oleh Hamilah, pada Februari telah diadakan pertemuan untuk membahas kasus Novi. Pertemuan dihadiri aparat Pemda dan Dinas Kesehatan Cianjur, dr. Arief, serta pihak FKG Trisakti. Dalam pertemuan tersebut dr. Arief mengutarakan hasil pemeriksaannya, yang menunjukkan pada bekas gigi yang dicabut itu telah tumbuh gigi baru. Dan di bagian itu juga tak terdapat pembengkakan. Karena itu, Hamilah menyimpulkan, pencabutan gigi tidak menimbulkan kelainan. Sewaktu dihubungi wartawan TEMPO, pihak FKG Trisakti menampik memberi keterangan resmi. Mereka, kata seorang pejabat di sana, memilih bersikap diam. “Baik secara teknis maupun medis, kami tidak melakukan kesalahan,” kata seorang pengajar yang menolak namanya disebut. “Dan para dokter yang melakukan aksi sosial itu bisa dipertanggungjawabkan kemampuan profesionalnya. Mereka bukan mahasiswa.” Dari keterangan yang digali, kemudian terungkap, sebelum dan sesudah pertemuan FKG Trisakti dengan aparat Pemda dan Dinas Kesehatan Cianjur, sebenarnya pihak FKG Trisakti sudah berusaha mendatangi keluarga Machfud. Ikhtiar ini dicegah oleh aparat Pemda Cianjur, yang mengatakan “akan membereskan” persoalan tersebut. “Karena itu, kami merasa sudah tidak ada masalah lagi,” ujar sebuah sumber. Ada masalah atau tidak, sering terdengar bahwa pencabutan gigi bisa menimbulkan gangguan saraf dan kerusakannya permanen — seperti mulut mencong. “Dalam literatur memang ada,” kata drg. Ayu Astuti, ahli bedah rahang RS Hasan Sadikin. Akibatnya juga bisa berlangsung lama. Hanya, peristiwa semacam ini jarang terjadi. “Selama berpraktek, saya belum pernah menemukan kasus semacam itu,” ujar Astuti. Kemungkinan penyebab terjadinya gangguan saraf, tambah Astuti, adalah kesalahan menyuntik ketika melakukan pengebalan. Atau saat pencabutan dilakukan ada saraf yang terkena. Dan gangguan ini lazim terjadi langsung setelah penyuntikan atau pencabutan. Dari segi medis, memang banyak yang masih harus diperdebatkan. Sedangkan menurut Machfud, “Masalahnya bukan cuma itu saja.” Tuntutannya juga didasarkan karena gigi anaknya dicabut tanpa meminta izin padanya. “Izin itu memang diperlukan,” kata dr. Budi Sayuto, wakil direktur pelayanan medik RS Hasan Sadikin. Karena pencabutan itu termasuk tindakan invasif, orangtua Novi perlu mendapat penjelasan tentang akibatnya. Setelah menerima penjelasan, orangtuanya harus memberikan persetujuan dengan menandatangani surat pernyataan. Ini prosedur resminya. “Tapi kalau pencabutan gigi tidak diperlukan izin tertulis,” kata Budi Sayuto.
            Kasus kedua
            Kasus schloendorf v.s. Society of New York Hospital. Dalam kasus ini, dokter telah lancang mengangkat suatu tumor fibroid, sedangkan pasien hanya memberi izin untuk pemeriksaan abdomen, yang pada waktu itu dilakukan dengan pemberian anastesi (examination under anaesthesia). Walaupun pasien telah dengan tegas menyatakan bahwa dia tidak mau dibedah, namun dokter tersebut tetap melakukannya karena menganggap bahwa operasi tersebut untuk kebaikan pasien sendiri. Atas gugatan itu, hakim benyamin cordozo yang menjadi terkenal karena ucapannya dan sampai sekarang masih sering dikutip yaitu : “Setiap manusia yang dewasa dan sehat berhak mentukan apa yang hendak dilakukan terhadap tubuhnya sendiri. Seorang spesialis bedah yang melakukan suatu pembedahan tanpa izin dari pasien, dianggap telah melakukan pelanggaran hukum, untuk mana ia harus bertanggung jawab atas kerugiannya”.
Kasus ketiga
13-Mar-2009
Pasien Dioperasi Tanpa Pemberitahuan Keluarga
24 hari sudah Nina Dwi Jayanti, putri pasangan Gunawan dan Suheni warga Jalan Perum Pucung Baru Blok D2 No.6 Kecamatan Kota Baru, Cikampek ini terbaring ditempat tidur Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo.
            Menurut cerita orangtuanya yang juga karyawan Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo atau RSCM, Nina masuk ke rumah sakit pada tanggal 15 Februari 2009 lalu karena mengeluh tak bisa buang air besar.
Setelah sampai di rumah sakit, dokter langsung memberikan obat untuk memperlancar buang air besarnya. Namun karena tak kunjung sembuh, dokter kemudian menebak sakit Nina kemungkinan karena menderita apendik atau usus buntu.
            Nina pun langsung dibedah dibagian ulu hati hingga dibawah puser, tapi anehnya, dokter yang menangani pembedahan tidak memberitahukan atau tidak minta ijin terlebih dahulu kepada orangtuanya, sebagai prosedur yang harus ditempuh dokter bila ingin melakukan tindakan operasi atau pembedahan.
Ternyata setelah dibedah, dugaan bahwa Nina menderita usus buntu tidak terbukti. Dokter lalu membuat kesimpulan berdasarkan diagnosa, Nina menderita kebocoran kandung kemih. Nina kemudian dioperasi tapi juga tidak memberitahukan orangtuanya. Bekas-bekas operasi itu terlihat di perut Nina yang dijahit hingga 10 jahitan lebih. Kedua orangtua Nina hanya bisa pasrah dan minta pertanggungjawaban pihak Rumah Sakit RSCM atas kesehatan anaknya. Ayah Nina yang juga bekerja di RSCM ini akan mengadukan kasusnya ke Menteri Kesehatan dan siap dipecat dari pekerjaannya.

2.5. Pembahasan Kasus
Seorang dokter maupun dokter gigi seharusnya meringankan beban yang diderita pasien, bukan malah memperburuk keadaan pasien. Dan sebelum melakukan tindakan medis, hendaknya dokter tersebut meminta persetujuan pasien atau keluarganya dengan cara diberikan pemahaman yang benar agar tidak terjadi kesalahpahaman. Hal ini terkait dengan prinsip bioetika beneficience (mengutamakan kepentingan pasien), non-maleficience (tidak memperburuk keadaan pasien), dan autonomy (menghormati hak pasien dalam memutuskan).
Selain itu hal tersebut juga terkait dengan Undang-undang Praktik Kedokteran Pasal 66 yang menyebutkan :
1.            Setiap orang yang mengetahui dan kepentingannya dirugikan atas tindakan dokter atau dokter gigi dalam menjalankan praktik kedokteran dapat mengadukan secara tertulis kepada Ketua Majelis Kehormatan disiplin Kedokteran Indonesia.
2.            Pengaduan sekurang-kurangnya harus memuat :
a.       Identitas pengadu
b.      Nama dan alamat tempat praktik dokter atau dokter gigi dan waktu tindakan dilakukan
c.       Alasan pengaduan
3.            Pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak menghilangkan hak setiap orang untuk melaporkan adanya dugaan tindak pidana kepada pihak yang berwenang dan/atau menggugat kerugian perdata ke pengadilan.
Hak pasien untuk mendapat informasi dan hak untuk memberikan persetujuan tindakan medic diatur dalam Pasal 53 ayat (2) yang berbunyi:
“Tenaga kesehatan dalam melakukan tugasnya berkewajiban untuk memenuhi standar profesi dan menghormati hak pasien“
Yang dimaksud dengan hak pasien antara lain adalah :
  1. Hak informasi
  2. Hak untuk memberikan persetujuan
  3. Hak atas rahasia kedokteran
  4. Hak untuk mendapat pendapat kedua
Persetujuan yang diberikan oleh pasien atau keluarga pasien terhadap tindakan medic dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu persetujuan secara tersirat maupun persetujuan secara tersurat. Semua persetujuan tindakan medic yang diberikan oleh pasien atau keluarga pasien harus berdasarkan penjelasan yang lengkap dan jelas mengenai :
  1. Diagnosis
  2. Terapi dengan kemungkinan slternatif terapi
  3. Tentang cara kerja dan pengalaman dokter
  4. Resiko kemungkinan perasaan sakit atau perasaan yang lain
  5. Keuntungan terapi
  6. Prognosis
Saat melakukan perawatan medis, seorang dokter harus memberikan informasi yang ia ketahui kepada pasien atau keluarganya tentang apa yang diderita pasien. Beberapa hal yang perlu diketahui mengenai informasi ini adalah :
1)       Informasi harus diberikan, baik diminta maupun tidak
2)       Informasi tidak boleh memakai istilah kedokteran karena tidak dapat dimengerti oleh orang awam
3)       Informasi harus diberikan sesuai dengan tingkat pendidikan, kondisi dan situasi pasien.
4)       Informasi harus diberikan secara lengkap dan jujur.

Yang berhak memberikan persetujuan setelah mendapat informasi adalah :
1)      Pasien sendiri, yaitu apabila telah berumur 21 tahun dan sudah atau telah menikah.
2)      Ayah/ibu/saudara kandung pasien, yaitu apabila pasien berumur dibawah 21 tahun.
3)      Ayah/ibu adopsi/saudara kandung pasien, yaitu apabila pasien berumur dibawah 21 tahun dan tidak mempunyai orang tua atau orang tuanya berhalangan hadir.
4)      Ayah/ibu kandung/wali yang sah/saudara kandung, yaitu apabila pasien dewasa dengan gangguan mental.
5)      Wali/kurator, yaitu apabila pasien dewasa yang berada dibawah pengampuan.
6)      Suami/istri/ayah/ibu/anak/saudara kandung, yaitu apabila pasien dewasa yang telah menikah atau orang tua.
 
DAFTAR PUSTAKA

Hanafiah, Yusuf. 2008.Hubungan Hukum Antara Pasien dan Dokter serta
Tanggung Jawab Dokter. Sumatera Utara: USU
Sampurna, Budi,  Zulhasmar Syamsu, Tjetjep Dwijdja Siswaja. 2005. Bioetik dan   
Hukum Kedokteran, Pengantar bagi Mahasiswa Kedokteran dan Hukum. Jakarta: Penerbit Pustaka Dwipar

Hanifah, Yusuf. 2009. Etika Kedokteran dan Hukum Kesehatan. Jakarta: EGC

Lestari, Sri.2009.Perawatan Pasca Operasi. Padang. UNAND

Novalina, Anwar. 2009. Hak Pasien untuk Menentukan Diri Sendiri dan Hak
Keluarga dalam Persetujuan Tindakan Medis. Semarang: UNIKA

Poernomo, Bambang. 1998. Asas Hukum Pidana . Jakarta: Ghalia Indonesia

Taufik, Muhammad. 2011Respeaktif Yuridis Tanggung Jawab Dokter Terhadap
Rahasia Pasien. Semarang: UNDIP

Titisari, Nur. 2011. Pelaksanaan Persetpersetujuan Tindakan Medis Dalam
Melindungi Pasien Askseskin. Semarang : UNDIP


Tidak ada komentar:

Posting Komentar