BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Dasar Hukum Informed consent
Dalam hukum
kedokteran, biasanya untuk menghindari resiko malpraktik, tenaga medis membuat exconeratic clausule yaitu :
syarat-syarat pengecualian tanggung jawab berupa pembatasan ataupun pembebasan
dari suatu tanggung jawab. Dalam hal
ini, bentuk exconeratic clausule adalah informed
consent / persetuan tindakan medis.
Di Indonesia
perkembangan informed consent secara
yuridis formal, ditandai dengan munculnya pernyataan ikatan dokter indonesia
(IDI) tentang informed consent melalui
SK PB-IDI No. 319/PB/A.4/88 pada tahun 1988. Kemudian setelah itu dipertegas
dengan keluarnya PerMenKes No. 585 tahun 1989 tentang “Persetujuan Tindakan
Medik atau informed consent”.
Peraturan resebut menjadi aturan dalam setiap pelaksanaan tindakan medis yang
berhubungan dengan persetujuan dan pemberiak informasi terhadap setiap tindakan
medik. Peraturn tersebut menyebutkan bahwa setiaptindakan medik harus ada
persetujuan dari pasien yang diatur dalam pasal 2 ayat (1) PerMenKes No. 585
tahun 1989, yang berbunyi “semua tindakan
medik yang akan dilakukan terhadap pasien harus mendapat persetujuan”.
Persetujuan
tindakan medik (informed consent)
terdiri dari :
1.
Yang dinyatakan (expressed),
yakni secara lisan (oral) atau tertulis(written)
a.
Persetuan Lisan, biasanya diperlukan untuk tindakan medis yang bersifat
non-invasif dan tidak mengandung resiko tinggi, yang diberikan oleh pihak
pasien.
b.
Persetuan tertulis, biasanya diperlukan untuk tindakan medis yang
mengandung resiko besar, sebagaimana ditegaskan dalam PerMenKes No. 585/Men.
Kes/Per/IX/1989 pasal 3 ayat (1) dan SK PB-IDI No. 319/PB/A.4/88 butir 3, yaitu
intinya setiap tindakan medis yang mengandung resiko yang cukup besar,
mengharuskan adanya persetujuan tertulis, setelah sebelumnya pihak pasien
memperoleh informasi yang adekuat tentang perlunya tindakan medis serta resiko
yang berkaitan dengannya.
c.
Persetujuan dengan isyarat, dilakukan pasien melalui isyarat misalnya
pasien yang akan disuntik atau diperiksa tekanan darahnya, langsung menyodorkan
lengan sebagai tanda menyetujui tindakan yang akan dilakukan terhadap dirinya.
2.
Dianggap diberikan (implied
atau tocit consent), yakni dalam keadaan biasa (normal) atau dalam keadaan
darurat (emergency)
Kemuadian diiringi dengan keluarnya PerMenKes
No. 589 tahun 1989 yang menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan PTM adalah
persetujuan yang diberikan pasien atau keluarga atas dasar penjelasan mengenai
tindakan medik yang akan dilakukan terhadap pasien tesebut.
2.2.Hubungan Informed consent dengan
Pancasila
2.2.1. Ketuhanan Yang Maha Esa.
Indonesia
adalah Negara yang masyarakatnya mempercayai adanya tuhan atau sang
pencipta,dimana di mata tuhan makhul itu sama dan setiap orang berhak memilih
agama yang mereka percayai tanpa adanya paksan dari orang lain serta saling menghormati dan tolong –menolong antar
pemeluk agama tanpa membeda-bedakannya. apa hubunganya dengan imfromed consent?
, itu terletak pada melakukan suatu pertolongan itu dokter tidak boleh
memandang status dari kepercayaanpasiennya, dia harus menolong siapa saja yang
membutuhkan pertolongnya dan mengangap kedudukan pasien itu sama dengannya yang
harus di perlakukan sebaik-baikanya sebagai mahluk ciptaan tuhan . walaupun
sebenarnya secara tidak langsung ke dudukan dokter itu tanpa di sadari lebih
tinggi dari pasiennya karena dokter dianggap mampu menolong dan memberikan
pertolongan,tapi dalam perinsiketuhananya adalah sama.
2.2.2. Kemanusiaan Yang Adil dan Beradap
Manusia harus
di perlakukan sesuai harkat dan martabatnya sebagai manusia, setiap yang di
lakukan oleh dokter harus sesuai dengan harkat dan martabat manusia itu sendiri
. dokter harus menolong pasiennya dengan adil dan benar tidak membedakan dari
suku,agama dan bangsanya, serta tidak memperlalukan pasiennya itu semena-mena.
Fungsi dari inform conset di sini adalah untuk melindungi pasien dari tidakan
yang semena-mena dan tidak sesuai dengan harkat dan martabatnya sebagaimanusia
serta mendapatkan ke adilan dan kebenaran. Untuk dokter ,ini berfungsi untuk
lebih hati-hati dalam memperlaukan seorang pasien secara harkat dan martabatnya
dengan adil dan benar serta agar menjdi benteng hokum apabila terjadi tuntutan
di kemudian hari.
2.2.3. Persatuan Indonesia
Di sini
seorang dokter harus rela berkorban dan mementingkan kepentingkan orang lain
yang membutuhkannya (kalau di sini di tinjau dari pasiennya). Karna seorang
dokter harus siap dan siaga jika di butuhkan , dimana sebap dokter akan selalu
di butuhkan kapan saja dan dimana saja baik itu siang,malam ketika mood baik
ataupun jelek, di sini dokter harus rela berkorban atas pasiennya, karna
pasiennya lebih bembutuhkannya, tetapi hendaknya pasien juga menengang waktu-
waktu tertentu dari dokternya. Pada intinya itu saling
menghormati,menghargai.rela berkorban serta mementingkan kepentingan orang lain
agar terciptalah suatu persatuan yang baik. Fungsi dari inform consent di sini
adalah untuk menjaga itu semua atau bias di katakana dengan inform consent yang
di pandang secara sila pertama,kedua,ke empat dan kelima ini adalah inti dari
semuanya yang menyebapkan timbulnya persatuan itu sendiri
2.2.4. Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam
Permusyawaratan/Perwakilan
Seorang dokter dalam mengambil suatu keputusan dia tidak boleh mengambil
keputusan sepihak untuk melakukan penanganan terhadap pasiennya, tetapi dia
harus bermusyawarah dengan keluarganya ataupun pasienya sendiri, apapun
keputusan dari si pasien itu harus di turuti oleh dokternya dan dokter dalam
memberikan tindakan-tindakan harus bijaksana dengan memperhatikan akibat yang
akan di timbul kan serta menjelaskan semuanya kepada pasien maupun keluarganya,
jika pasien tidak dalam kedaan sadar maka ini bias di ambil persetujuan dari
keluarganya, di sinilah fungsi dari inform consent agar hal yang telah di setujui keluarga
pasien jika nantinya pasien menuntut itu dapat di pertanggung jawabkan.
2.2.5. Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia
Antara hubungan dokter dan pasien serta pasien dengan dokter itu harus
ada ke seimbangan antara hak dan kewajiban masing-masing pihak serta saling
menghargai sesama. Inform consent di sini bertujuan untuk saling menghargai
tadi dan seimbangnya hak serta kewajiban, karna di Negara kita setiap orang
berhak unutk membela dirinya dan berhak di bela dan imform consent ini adalah
sebagai pelindung jika nantinya terjadi hal-hal tertentu, sehingga terlihat jelas
keadilan baik bagi pasiennya yang jika di rugikan atapun dokternya yang di
tuduh
2.3. Hubungan Informed consent dengan UUD 1945
Dalam
Undang Undang Dasar 1945 (UUD) informed
consent tidalkan tercantum secara konkrit. Tetapi informed consent yang terkandung didalam Undang-Undang Dasar
Republik Indonesia yaitu terdapat pada Pasal 28H ayat (1) tahun 1945 berbunyi:
“setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan
mendapatkan lingkungan yang sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan”.
Pasal 34 ayat (3) berbunyi: “negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas
pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak”. `
2.4. Penerapan Informed consent
dalam Pelayanan Kesehatan Serta Kasus yang Pernah Terjadi Dikarenakan oleh Informed consent.
Dalam setiap pelayanan kesehatan sangat
memerlukan adanya informed consent,
sehingga nantinya tidak akan menimbulkan miskomunikasi antara dokter dan
pasien yang dapat merugikan salah satu
pihak atau berujung di meja hijau. informed
consent ini dibutuhkan dalam setiap tindakan medik, baik itu yang dilakukan
oleh dokter, bidan, maupun perawat. Dalam setiap informed consent yang diberikan kepada pasien, seorang dokter harus
mengungkapkan dan menjelaskan kepada pasien secara detail dan menggunakan
bahasa sesederhana mungkin mengenai sifat penyakitnya, sifat pengobatan yang
disarankan, alternatif pengobatan, kemungkinan berhasil dan resiko yang dapat
timbul, serta komplikasi-komplikasi yang tidak dapat diduga.
Sudah banyak terjadi
kasus pelanggaran yang disebabkan oleh tidak adanya informed consent atau kurangnya penjelas dokter kepada pasien,
sehingga pada saat terjadi sesuatu yang tidak diinginkan dan berada diluar
perkiraan, pasien akan menggap bahwa itu mutlak adalah kesalahan yang dilakukan
oleh dokter. Kasus yang menyangkut tentang informed
consent ini tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga terjadi diluar
negeri. Berikut beberapa kasus yang pernah terjadi :
Kasus pertama
NOVI, 9 tahun, berangsur-angsur sembuh. Mulutnya yang mencong mulai
kembali ke posisi semula. Kelopak matanya yang terbuka sedikit ketika tidur
sudah bisa mengatup. Sebelumnya membelalak terus. Tapi Machfud, orangtua Novi,
tetap mengajukan tuntutan. Kasus ini pekan lalu dilaporkan ke Polres Cianjur,
Jawa Barat. Menurut ayahnya yang pegawai PLN Cianjur itu, Novi mengalami
gangguan saraf setelah giginya dicabut. Peristiwanya terjadi November tahun
silam. Ketika itu 27 dokter gigi yang baru lulus dari Universitas Trisakti,
Jakarta, mengadakan aksi sosial di Cianjur. Seminggu mereka buka praktek
memeriksa gigi cuma-cuma di Balai Desa Cibeber. Termasuk anak yang terpikat
memeriksakan giginya adalah Novi, pelajar SD Negeri Hanjawar, Cibeber. Atas
inisiatifnya sendiri, hari itu Novi datang tidak bersama orangtuanya — dan
inilah yang kemudian menimbulkan masalah. Menurut Ida Sofiah, Kepala SD
Hanjawar, Novi bukan satu satunya pelajar yang tertarik. “Mereka mau
memeriksakan giginya karena dijanjikan ada hadiah, pasta dan sikat gigi.
Namanya juga anak-anak, mereka tertarik pada hadiah gratis itu,” kata Ida.
Dalam pemeriksaan, para dokter gigi muda itu menemukan, pada rahang
bawah, salah satu gigi susu Novi sudah goyah. Selain membersihkan giginya yang
kebanyakan keropos, mereka sekaligus mencabut gigi yang goyang tadi. Sesudah
itu, tidak ada peristiwa luar biasa. Dua hari setelah pencabutan giginya,
muncullah keluhan Novi. Dan yang mengejutkan orangtuanya, bibirnya kemudian
mencong. Bahkan kelopak matanya tak bisa ditutup walaupun ketika tidur. Lalu
Novi dibawa berobat pada dr. Arief di poliklinik PLN. Setelah memeriksanya,
dokter ini menganjurkan agar Novi dibawa ke RS Hasan Sadikin Bandung untuk
menjalani fisioterapi. Anak itu, menurut Arief, mengalami kontraksi otot. Dalam
perawatan di RS Hasan Sadikin, tiga kali seminggu Novi mendapat pengurutan dan
latihan fisioterapi. Kata dokter yang tak mau disebut namanya yang merawatnya
di sana, Novi mengalami trauma. Cuma tak ada keterangan rinci jenis trauma apa,
bahkan apakah itu berasal dari gigi yang dicabut. Perawatan sampai dua bulan.
Bulan ketiga ayah Novi menghentikan perawatan anaknya. “Kami kehabisan
dana. Perawatan sudah menghabiskan Rp 750 ribu,” kata Machfud. Dan muncul pula
penyesalannya: mengapa pihak Fakultas Kedokteran Gigi (FKG) Universitas
Trisakti lepas tangan. “Jangankan memberi bantuan, menengok anak saya pun
tidak,” katanya. Menurut Machfud, pada 22 Februari ia hanya menerima surat dari
drg. Hamilah D. Koesoemahardja, Dekan FKG Trisakti. Dalam surat itu, Hamilah
menolak perkiraan bahwa gangguan saraf yang diderita Novi berpangkal dari
pencabutan giginya. “Kesimpulan kami ini tidak terdapat kaitan antara
pencabutan gigi susu itu dan kelainan pada mulut dan mata Novi,” tulis Hamilah.
Juga dijelaskan oleh Hamilah, pada Februari telah diadakan pertemuan untuk
membahas kasus Novi. Pertemuan dihadiri aparat Pemda dan Dinas Kesehatan
Cianjur, dr. Arief, serta pihak FKG Trisakti. Dalam pertemuan tersebut dr.
Arief mengutarakan hasil pemeriksaannya, yang menunjukkan pada bekas gigi yang
dicabut itu telah tumbuh gigi baru. Dan di bagian itu juga tak terdapat
pembengkakan. Karena itu, Hamilah menyimpulkan, pencabutan gigi tidak
menimbulkan kelainan. Sewaktu dihubungi wartawan TEMPO, pihak FKG Trisakti
menampik memberi keterangan resmi. Mereka, kata seorang pejabat di sana,
memilih bersikap diam. “Baik secara teknis maupun medis, kami tidak melakukan
kesalahan,” kata seorang pengajar yang menolak namanya disebut. “Dan para
dokter yang melakukan aksi sosial itu bisa dipertanggungjawabkan kemampuan
profesionalnya. Mereka bukan mahasiswa.” Dari keterangan yang digali, kemudian
terungkap, sebelum dan sesudah pertemuan FKG Trisakti dengan aparat Pemda dan
Dinas Kesehatan Cianjur, sebenarnya pihak FKG Trisakti sudah berusaha
mendatangi keluarga Machfud. Ikhtiar ini dicegah oleh aparat Pemda Cianjur,
yang mengatakan “akan membereskan” persoalan tersebut. “Karena itu, kami merasa
sudah tidak ada masalah lagi,” ujar sebuah sumber. Ada masalah atau tidak,
sering terdengar bahwa pencabutan gigi bisa menimbulkan gangguan saraf dan
kerusakannya permanen — seperti mulut mencong. “Dalam literatur memang ada,”
kata drg. Ayu Astuti, ahli bedah rahang RS Hasan Sadikin. Akibatnya juga bisa
berlangsung lama. Hanya, peristiwa semacam ini jarang terjadi. “Selama
berpraktek, saya belum pernah menemukan kasus semacam itu,” ujar Astuti.
Kemungkinan penyebab terjadinya gangguan saraf, tambah Astuti, adalah kesalahan
menyuntik ketika melakukan pengebalan. Atau saat pencabutan dilakukan ada saraf
yang terkena. Dan gangguan ini lazim terjadi langsung setelah penyuntikan atau
pencabutan. Dari segi medis, memang banyak yang masih harus diperdebatkan.
Sedangkan menurut Machfud, “Masalahnya bukan cuma itu saja.” Tuntutannya juga
didasarkan karena gigi anaknya dicabut tanpa meminta izin padanya. “Izin itu
memang diperlukan,” kata dr. Budi Sayuto, wakil direktur pelayanan medik RS
Hasan Sadikin. Karena pencabutan itu termasuk tindakan invasif, orangtua Novi
perlu mendapat penjelasan tentang akibatnya. Setelah menerima penjelasan,
orangtuanya harus memberikan persetujuan dengan menandatangani surat
pernyataan. Ini prosedur resminya. “Tapi kalau pencabutan gigi tidak diperlukan
izin tertulis,” kata Budi Sayuto.
Kasus
kedua
Kasus schloendorf v.s. Society of
New York Hospital. Dalam kasus ini, dokter telah lancang mengangkat suatu tumor
fibroid, sedangkan pasien hanya memberi izin untuk pemeriksaan abdomen, yang
pada waktu itu dilakukan dengan pemberian anastesi (examination under
anaesthesia). Walaupun pasien telah dengan tegas menyatakan bahwa dia tidak mau
dibedah, namun dokter tersebut tetap melakukannya karena menganggap bahwa
operasi tersebut untuk kebaikan pasien sendiri. Atas gugatan itu, hakim
benyamin cordozo yang menjadi terkenal karena ucapannya dan sampai sekarang
masih sering dikutip yaitu : “Setiap manusia yang dewasa dan sehat berhak
mentukan apa yang hendak dilakukan terhadap tubuhnya sendiri. Seorang spesialis
bedah yang melakukan suatu pembedahan tanpa izin dari pasien, dianggap telah
melakukan pelanggaran hukum, untuk mana ia harus bertanggung jawab atas kerugiannya”.
Kasus ketiga
13-Mar-2009
Pasien Dioperasi Tanpa Pemberitahuan Keluarga
24 hari sudah Nina Dwi Jayanti, putri pasangan
Gunawan dan Suheni warga Jalan Perum Pucung Baru Blok D2 No.6 Kecamatan Kota
Baru, Cikampek ini terbaring ditempat tidur Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo.
Menurut
cerita orangtuanya yang juga karyawan Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo atau RSCM,
Nina masuk ke rumah sakit pada tanggal 15 Februari 2009 lalu karena mengeluh
tak bisa buang air besar.
Setelah sampai di rumah sakit, dokter langsung memberikan obat untuk memperlancar buang air besarnya. Namun karena tak kunjung sembuh, dokter kemudian menebak sakit Nina kemungkinan karena menderita apendik atau usus buntu.
Nina pun langsung dibedah dibagian ulu hati hingga dibawah puser, tapi anehnya, dokter yang menangani pembedahan tidak memberitahukan atau tidak minta ijin terlebih dahulu kepada orangtuanya, sebagai prosedur yang harus ditempuh dokter bila ingin melakukan tindakan operasi atau pembedahan.
Ternyata setelah dibedah, dugaan bahwa Nina menderita usus buntu tidak terbukti. Dokter lalu membuat kesimpulan berdasarkan diagnosa, Nina menderita kebocoran kandung kemih. Nina kemudian dioperasi tapi juga tidak memberitahukan orangtuanya. Bekas-bekas operasi itu terlihat di perut Nina yang dijahit hingga 10 jahitan lebih. Kedua orangtua Nina hanya bisa pasrah dan minta pertanggungjawaban pihak Rumah Sakit RSCM atas kesehatan anaknya. Ayah Nina yang juga bekerja di RSCM ini akan mengadukan kasusnya ke Menteri Kesehatan dan siap dipecat dari pekerjaannya.
Setelah sampai di rumah sakit, dokter langsung memberikan obat untuk memperlancar buang air besarnya. Namun karena tak kunjung sembuh, dokter kemudian menebak sakit Nina kemungkinan karena menderita apendik atau usus buntu.
Nina pun langsung dibedah dibagian ulu hati hingga dibawah puser, tapi anehnya, dokter yang menangani pembedahan tidak memberitahukan atau tidak minta ijin terlebih dahulu kepada orangtuanya, sebagai prosedur yang harus ditempuh dokter bila ingin melakukan tindakan operasi atau pembedahan.
Ternyata setelah dibedah, dugaan bahwa Nina menderita usus buntu tidak terbukti. Dokter lalu membuat kesimpulan berdasarkan diagnosa, Nina menderita kebocoran kandung kemih. Nina kemudian dioperasi tapi juga tidak memberitahukan orangtuanya. Bekas-bekas operasi itu terlihat di perut Nina yang dijahit hingga 10 jahitan lebih. Kedua orangtua Nina hanya bisa pasrah dan minta pertanggungjawaban pihak Rumah Sakit RSCM atas kesehatan anaknya. Ayah Nina yang juga bekerja di RSCM ini akan mengadukan kasusnya ke Menteri Kesehatan dan siap dipecat dari pekerjaannya.
2.5. Pembahasan Kasus
Seorang dokter maupun dokter gigi seharusnya meringankan beban yang
diderita pasien, bukan malah memperburuk keadaan pasien. Dan sebelum melakukan
tindakan medis, hendaknya dokter tersebut meminta persetujuan pasien atau
keluarganya dengan cara diberikan pemahaman yang benar agar tidak terjadi
kesalahpahaman. Hal ini terkait dengan prinsip bioetika beneficience
(mengutamakan kepentingan pasien), non-maleficience (tidak memperburuk keadaan
pasien), dan autonomy (menghormati hak pasien dalam memutuskan).
Selain itu hal
tersebut juga terkait dengan Undang-undang Praktik Kedokteran Pasal 66 yang
menyebutkan :
1.
Setiap orang yang mengetahui dan kepentingannya dirugikan atas tindakan
dokter atau dokter gigi dalam menjalankan praktik kedokteran dapat mengadukan
secara tertulis kepada Ketua Majelis Kehormatan disiplin Kedokteran Indonesia.
2.
Pengaduan sekurang-kurangnya harus memuat :
a.
Identitas pengadu
b.
Nama dan alamat tempat praktik dokter atau dokter gigi dan waktu
tindakan dilakukan
c.
Alasan pengaduan
3.
Pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak
menghilangkan hak setiap orang untuk melaporkan adanya dugaan tindak pidana
kepada pihak yang berwenang dan/atau menggugat kerugian perdata ke pengadilan.
Hak pasien
untuk mendapat informasi dan hak untuk memberikan persetujuan tindakan medic
diatur dalam Pasal 53 ayat (2) yang berbunyi:
“Tenaga kesehatan dalam melakukan tugasnya berkewajiban untuk memenuhi
standar profesi dan menghormati hak pasien“
Yang dimaksud dengan hak pasien antara lain
adalah :
- Hak informasi
- Hak untuk memberikan persetujuan
- Hak atas rahasia kedokteran
- Hak untuk mendapat pendapat kedua
Persetujuan
yang diberikan oleh pasien atau keluarga pasien terhadap tindakan medic dapat
dilakukan dengan dua cara, yaitu persetujuan secara tersirat maupun persetujuan
secara tersurat. Semua persetujuan tindakan medic yang diberikan oleh pasien
atau keluarga pasien harus berdasarkan penjelasan yang lengkap dan jelas
mengenai :
- Diagnosis
- Terapi dengan kemungkinan slternatif terapi
- Tentang cara kerja dan pengalaman dokter
- Resiko kemungkinan perasaan sakit atau perasaan yang lain
- Keuntungan terapi
- Prognosis
Saat melakukan
perawatan medis, seorang dokter harus memberikan informasi yang ia ketahui
kepada pasien atau keluarganya tentang apa yang diderita pasien. Beberapa hal
yang perlu diketahui mengenai informasi ini adalah :
1)
Informasi harus diberikan, baik diminta maupun tidak
2)
Informasi tidak boleh memakai istilah kedokteran karena tidak dapat
dimengerti oleh orang awam
3)
Informasi harus diberikan sesuai dengan tingkat pendidikan, kondisi dan
situasi pasien.
4)
Informasi harus diberikan secara lengkap dan jujur.
Yang berhak
memberikan persetujuan setelah mendapat informasi adalah :
1)
Pasien sendiri, yaitu apabila telah berumur 21 tahun dan sudah atau
telah menikah.
2)
Ayah/ibu/saudara kandung pasien, yaitu apabila pasien berumur dibawah 21
tahun.
3)
Ayah/ibu adopsi/saudara kandung pasien, yaitu apabila pasien berumur
dibawah 21 tahun dan tidak mempunyai orang tua atau orang tuanya berhalangan
hadir.
4)
Ayah/ibu kandung/wali yang sah/saudara kandung, yaitu apabila pasien
dewasa dengan gangguan mental.
5)
Wali/kurator, yaitu apabila pasien dewasa yang berada dibawah
pengampuan.
6)
Suami/istri/ayah/ibu/anak/saudara kandung, yaitu apabila pasien dewasa
yang telah menikah atau orang tua.
DAFTAR PUSTAKA
Hanafiah,
Yusuf. 2008.Hubungan Hukum Antara Pasien dan Dokter serta
Tanggung Jawab Dokter. Sumatera Utara:
USU
Sampurna,
Budi, Zulhasmar Syamsu, Tjetjep Dwijdja
Siswaja. 2005. Bioetik dan
Hukum
Kedokteran, Pengantar bagi Mahasiswa Kedokteran dan Hukum. Jakarta: Penerbit Pustaka Dwipar
Hanifah,
Yusuf. 2009. Etika Kedokteran dan Hukum Kesehatan. Jakarta: EGC
Lestari,
Sri.2009.Perawatan Pasca Operasi. Padang. UNAND
Novalina,
Anwar. 2009. Hak Pasien untuk Menentukan Diri Sendiri dan Hak
Keluarga dalam Persetujuan Tindakan
Medis. Semarang: UNIKA
Poernomo,
Bambang. 1998. Asas Hukum Pidana . Jakarta: Ghalia Indonesia
Taufik,
Muhammad. 2011Respeaktif Yuridis Tanggung Jawab Dokter Terhadap
Rahasia Pasien. Semarang: UNDIP
Titisari,
Nur. 2011. Pelaksanaan Persetpersetujuan Tindakan Medis Dalam
Melindungi Pasien Askseskin. Semarang :
UNDIP
Tidak ada komentar:
Posting Komentar